Sabtu, Juni 13, 2009

ABSES PERITONSIL

ABSES PERITONSIL

PENDAHULUAN(1,2,3)
Abses peritonsil (quinsy) adalah termasuk salah satu abses leher dalam. Selain abses peritonsil termasuk juga abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses submandibula. Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial di antara fascia leher dalam sebagai akibat perjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi.
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
Nyeri tenggorokan dan demam yang disertai gangguan berupa terbatasnya gerak mandibula dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses peritonsil ialah abses diluar kapsul atau selubung tonsil, antara kedua lapisan paltum molle. Penyakit ini merupakan komplikasi dari tonsilofaringitis akut yang membentuk abses pada jaringan longgar sekitar tonsil. Bila letak abses pada supratonsil yaitu pada fossa laterosuperior dari tonsil, maka dapat menjalar ke spatium parafaringeum dan ke pembuluh darah yang akan menyebabkan sepsis.

DEFINISI(1,2,3,4,5,6,7)
Abses peritonsil sering disebut sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil.

ANATOMI(2,4)
Peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil palatine sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.

ETIOLOGI(1,2,3,4)
Infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai palatum molle. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsil. Kelainan ini dapat terjadi cepat , dengan onset awal dari tonsillitis atau akhir dari perjalanan penyakit tonsillitis akut. Biasanya unilateral dan kuman penyebab sama dengan tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob penyebab terbanyak Quinsy adalah Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic streptococus) sedangkan kuman anaerob penyebab terbanyak adalah Fusobacterium. Penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dan sering terjadi pada dewasa muda dan sering residif.
Kemungkinan abses peritonsil disebabkan oleh infeksi pada kripta difusa supra tonsil, dimana ukurannya besar, merupakan suatu capitas seperti celah dengan tepi tak teratur dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil.


PATOLOGI (3)
Abses peritonsil ini biasanya timbul pada hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta, biasanya kripta yang mengalami peradangan.
Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul pada tonsil “ bed”. Pus yang berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan menimbulkan penonjolan, pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga tonsil akan terdorong kearah medial bawah.

GAMBARAN KLINIS (2,3)
Pada kasus yang agak berat biasanya terdapat disfagia yang nyata, nyeri telinga (otalgia) pada daerah yang terkena, salivasi yang meningkat dan khususnya trismus. Pembengkakan artikulasi dan jika nyata bicara menjadi sulit, karena ketidakmampuan pasien membuka mulut.Juga muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan suara sengau (rinolia). Palatum molle membengkakan dan menonjol ke depan dan dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong kesisi kontra lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis.
Umumnya pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat adanya infiltrasi ke jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Sekret kental menumpuk ditenggorokan dan pasien sulit untuk membuangnya. Oleh karena lidah dilapisi selaput tebal maka dapat terjadi nafas yang berbau. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan.

BAKTERIOLOGI(2)
Biakan tenggorokan di ambil seringkali tidak membantu dalam mengetahui organisme penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotic terlebih dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenarnya dapat menunjukkan terutama streptococcus pyogenes , dan yang agak jarang staphylococcus aureus.
Sprinkle dan lainnya menemukan insidens yang lebih tinggi dari bakteri anaerob, yang memberikan bau busuk pada drainase. Organisme-organisme tersebut biasanya ditemukan dalam rongga mulut.


KOMPLIKASI(3)
Komplikasi dan gejala sisa jarang didapati. Namun pernah dilaporkan, edema glotis akibat perluasan proses radang ke bawah, tercekik akibat pecahnya abses secara spontan, terjadi perdarahan, aspirasi paru dan pyemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada perjalanan selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi Penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan trambus sinus kavernosus , meningitis dan abses otak.

DIAGNOSA BANDING(3)
1.Abses retrofaring dan parafaring
2.Tumor tonsil terutama jenis retikulosis
3.Tumor campur ( adenoma pleomorfik).

PENATALAKSANAN(1,2,3,4,5,6,7,8)
1.Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
Bila telah terbentuk abses dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (local), dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dan konkha media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang nervus palatina anterior, media dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatinum nervus trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum.

2.Drainase
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan tehnik aspirasi jarum atau dengan tehnik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah hubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Jika ragu-ragu , jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi dengan anestesi semprot) ke dalam tida lokasi yang tampaknya paling mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan, metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotic.Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup didrainase dengan metode ini ,insisi yang lebih jauh dan drainase dapat dilakukan. Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak tehnik ini berpatokan pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fossa tonsilaris dan tidak dapat dicapai dengan menggunakan tehnik jarum.
Tehnik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local. Pertama faring disemprot dengan anestesi local , kemudian 2 cc xylocain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan. Pisau tonsil nomor 12 atau nomor 11 dengan plester untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fossa tonsilaris. Hemostat tumpul diamsukkan melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat pembedahan drainase untuk abses peritonsil mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fossa nasalis. Hal nin kadang – kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan tonsilektomi segera ( tonsilektomi quinsy ) merasa bahwa ini merupakan prasedur yang aman yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsil diangkat. Hal ini mengurangi kebutuhan tonsilektomi terencana yang dilakukan enam minggu kemudian , dimana saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali.
3.Medikamentosa(3,6)
Pasien yang dehidrasi diberi cairan intravena. Antibiotika sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur dan diberikan secara iv karena efektivitasnya lebih baik daripada peroral. Pilihan terbaik adalah Cephalexin atau golongan cephalosporin (dengan atau tanpa metronidazole). Alternative terapi lainnya adalah penisilin 600.000 – 1.200.000 unit, Cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metrondazole), Clindamicin 2-3 x 500 mg/hari atau ampisilin 3-4 x 250 – 500 mg/hari, amoxilin dengan asam clavulanate 3 x 500 mg/hari. Metronidazole 3-4 x 250 – 500 mg/hari. Pengobatan antibiotika diberikan 7 – 10 hari Analgetik – antipiretik paracetamol 3-4 x 250 -500 mg/hari , dan diobati kumur antiseptic. Penggunaan steroid masih controversial. Studi yang dilakukan Ozbeck dengan memberikan dexamethasone IV single dose dan antibiotika parenteral memberikan hasil yang baik dimana waktu dirawat di rumah sakit lebih singkat dan nyeri tenggorokan, demam serta trismus lebih cepat mereda dibandingkan dengan pemberian antibiotika parenteral.
4.Pencegahan(3)
Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang – ulang, maka setelah serangan pertama kali sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka kemungkinan perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan semakin ketat sehingga tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan.
Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior sehingga drainage secara yang biasa (melalui fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan dengan melakukan tonsil (Tonsilektomi) segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang tinggi (mencegah septicemia). Tindakan ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam ruang parafaring sudah mengancam. Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi komplikasi yang serius.


KESIMPULAN
Abses peritonsil adalah termasuk salah satu abses leher dalam.Abses peritonsil merupakan abses di luar kapsul atau selubung tonsil , antara kedua lapisan palatum molle.Penyakit ini merupakan komplikasi dari tonsilofaringitis akut yang membentuk abses pada jaringan longgar sekitar tonsil.
Pada sebagian kasus peritonsil , nanah ditemukan mengisi fossa supratonsil (70%) yang ditandai dengan pembengkakan dengan edema palatum molle , mengakibatkan tonsil terdorong ke bawah , depan dan ke tengah.
Gejala – gejala abses peritonsil yaitu odinofagia , otalgia , regurgitasi , foetor ex ore , hipersalivasi , rinolalia , trismus serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Terapi untuk abses peritonsil pada stadium infiltrasi diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simptomatik.Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.Jika terbentuk abses yang lanjut dapat dilakukan pembedahan drainase.Tehnik pembedahan dilakukan dengan cara tehnik aspirasi jarum atau dengan tehnik insisi dan drainase.Tehnik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local, anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum.

DAFTAR RUJUKAN

1. Fachruddin,Darnila, Abses Leher Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokkan, editor Soepardi EA, Iskandar N, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi ketiga, cetakan ke-2, Jakarta, 1998: 184-5.

2. Adams GL, Penyakit Rongga Mulut: Boeis, Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6, EGC, Jakarta , 1996: 333-4.

3. Roderthani, Ita L, Abses Peritonsil: Kumpulan Kuliah Faringologi. FK. UMI, Medan. 2008

4. Steyer T.E. peritonsillar abscess : diagnosis and treatment. Available from: http://www.aafp.org/

5. Sasaki C.T. peritonsillar abscess and cellulitis. Available from : http:// http://www.merck.com/

6. Gossellin B.J. Peritonsillar Abscess, Available from : http:// http://www.emedicine.com/

7. Preston M. Peritonsillar Abscess, Available from : http:// http://www.patientuk.com/

8. Peritonsillar abscess. Available from : http:// en.wikipedia.org / wiki / Peritonsillar_abscess

BUKA MATA PADA PENYEBARAN TUBERCULOSIS PARU

Sinonim : TBC paru, Koch Pulmonum (KP), TB Paru. Orang awam sering menyebutnya sebagai flek paru.
TB paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi ancaman bagi dunia khususnya Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai negara yang memiliki penderita TB terbanyak. Perlu kerjasama dan kesadaran dari pemerintah, dokter, masyarakat dan tentunya pasien untuk melawan penyakit infeksi menular tersebut.
PENYEBAB/ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh kuman basil tahan asam yakni mikobacterium tuberculosa. Kuman ini ditemukan oleh Robert Koch tahun 1882. Basil tuberculosis dapat bertahan hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60 derajat celcius dalam 15 - 20 menit.
Basil tuberkulosis tidak mengandung toksin, fraksi proteinnya menyebabkan nekrosis jaringan sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epitheloid dan tuberkel
PENULARAN
Penularan melalui droplet inhalasi (percikan ludah). Penularan ini sangat mudah terjadi pada anak - anak. Sangat disayangkan dengan kondisi masyarakat yang masih melihat penyakit ini sebagai penyakit yang memalukan dan rendahnya kesadaran akan peningkatan kesehatan membuat penularan kuman ini semakin tidak terkontrol. Sudut pandang masyarakat yang melihat penyakit ini sebagai penyakit yang memalukan membuat penderitanya sering menutupi keadaanya. Kesadaran akan peningkatan derajat kesehatan yang rendah sering kali membawa pasien malas berobat, padahal pemerintah telah menyiapkan program bagi masyarakat yang kurang mampu untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
Anak - anak yang masih putih seperti kertas harus mau menerima penyebaran kuman ini. Penyebarannya sangat sederhana hanya dengan droplet inhalasi dari penderita dewasa di lingkungan sekitar anak tersebut. Tb paru pada anak didapatkan dari orangtua, guru, ataupun penderita Tb dewasa yang menularkan melalui percikan dahak yang mengandung basil tahan asam. Wajar penderita TB dapat ditemukan dimana - mana oleh karena penyebarannnya sangat mudah. Orangtua yang menderita Tb, dapat dengan mudah menyebarkan kuman ini kepada anak - anaknya. Guru yang menderita TB dapat dengan mudah menularkan kuman TB pada siswa - siswanya. Penyebaran ini juga dipermudah dengan semakin meningkatnya penderita Diabetes dan HIV/AIDS. Penyakit ini dapat beriringan dengan TB paru oleh karena pada kedua kondisi penyakit ini telah terjadi penurunan imunitas (kekebalan tubuh) sehingga kuman TB dapat denagn mudah berkembang biak pada penderita DM dan HIV/AIDS.
Penyebaran ini dapat kita putus!bila kita sungguh - sungguh menginginkan generasi Indonesia yang sehat dan tangguh. Segera periksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan terdekat, bila ditemukan gejala berikut ini :
1. Gejala saluran pernapasan : Batuk sudah dialami sekitar 3 minggu, batuk darah, sesak napas
2. Gejala yang bukan berasal dari saluran pernapasan : lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat malam
Dokter akan melakukan evaluasi melalui gejala yang dialami pasien, pemeriksaan fisik dan akhirnya akan menggunakan pemeriksaan penunjang berupa: darah rutin, foto thoraks, pemeriksaan BTA, Kultur BTA.
Bila dokter menegakkan diagnosa TB, jangan kawatir karena penyakit ini dapat diberantas dengan Obat anti tuberkulosis (OAT). Pasien yang telah memakan OAT tidak lagi menginfeksius orang - orang di sekitarnya. Diperlukan kesadaran dan kesabaran untuk selalu kontrol dengan dokter dan tidak menjadikan dokter bagi diri sendiri dalam pengambilan keputusan untuk memberhentikan pengobatan walaupun batuk yang diderita sudah sembuh. Keputusan pemberhentian pengobatan hanya pada dokter karena dokter memiliki penilaian yang berbeda dengan hilangnya batuk ataupun gejala klinis lain yang di derita pasien. Hilangnya gejala klinis bisa saja karena kuman tersebut sudah dilemahklan namun tidak belum mati. Bila pasien menjadi dokter bagi dirinya sendiri akan membawa malapetaka baru bagi penularan TB. Kuman Tb akan mengalami mutasi sehingga akan kebal (Resisten) terhadap OAT. Kuman yang resisten dikenal dengan kuman Multiple drugs resisten (MDR).
Suatu problem yang harus menjadi perhatian karena penularan kepada anak yang sehat akan membuat anak tersebut mengidap kuman yang MDR. Penderita yang sedang dalam perobatan dimohon agar selalu sabar dalam menjalani pengobatan agar tidak terjadi mutasi - mutasi bakteri BTA. Keluarga dan masyarakat harus selalu memberikan perhatian yang lebih dan penuh KASIH agar penderita TB tidak terasingkan sehingga penderita tetap berobat karena adanya dukungan moral yang hangat dari keluarga dan masyarakat.
Tindakan yang dapat memutuskan mata rantai penularan TB adalah :
1. Tidak meludah disembarang tempat
2. Pakailah tissue atau sapu tangan untuk menutup mulut saat batuk
3. Berobatlah bila batuk lebih 3 minggu, batuk darah, sesak, nafsu makan menurun, lemas
4. Jangan memberhentikan pengobatan sekalipun gejala penyakit sudah hilang sebelum dokter mengatakan sembuh
5. Jauhkan diri dari anak - anak karena mereka sangat rentan terhadap penularan TB